Sebelum hujan mengguyur Kota Banda Aceh pada Rabu terakhir Januari 2016, buru-buru, saya jemput Ilyas Cheaha di Neusu. Ingin saya tunjukkan pemuda Thailand ini keindahan tak biasa di Pantai Lhok Mee.
Tak biasa, karena saya akan memperlihatkan dia bagaimana mahasiswa tingkat pertama Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry akan belajar soal travel writing bagian mata kuliah Jurnalistik. Ruangannya objek wisata ngetop di Aceh Besar, berlantaikan pasir putih.
Sebaiknya dibaca: Keindahan Lain Lhok Mee
Sekitar seminggu yang lalu, saya cukup bersemangat ketika seorang dosen muda ajak saya dampingi mahasiswanya kuliah ke Pantai Lhok Mee, beberapa saat usai saya share pengalaman menulis di hadapan puluhan mahasiswanya dalam ruangan yang sempit dan gerah.
Saya berpikir, dosen itu menawarkan cara tak biasa untuk menarik minat mahasiswa agar mau menulis. Tak sekadar mendengar motivisi menulis dari saya, tapi juga diajak praktik langsung meskipun mereka masih semester satu.
Berangkatlah saya dengan Ilyas. Saya pacu motor matik ke timur kota. Hati-hati saya lintasi jalanan menuju arah Krueng Raya, karena di belakang saya duduk salah satu mahasiswa Ilmu Politik Prince of Songkla University, Pattani, Thailand Selatan; salah satu mahasiswa berprestasi berusia 22 tahun.
Ceritanya, ia tengah magang di satu LSM dan meneliti resolusi konfik Aceh—proses perdamaian RI-GAM—untuk menjadi model dalam mengupayakan perdamaian antara Barisan Revolusi Nasional Malaya Patani (BRN)dengan Kerajaan Pattani.
Kampus membiayainya riset tugas akhir, bersama empat temannya dari universitas yang sama, ke Indonesia. Sudah tiga minggu di Banda Aceh dari total empat bulan. So, agar tidak kurang piknik punya kenangan indah tentang Aceh, saya membawanya ke pantai—kenal dia dari seorang senior juga.
“Gerakan yang juga dikenal National Revolutionary Front (NRF) ini menuntut kemerdekaan semenjak tahun 1960,” kata Ilyas, seraya melihat-lihat alam Krueng Raya berbatasan dengan perairan Malaka.
Usai makan siang bersama, Jufrizal, dosen muda itu, kumpulkan 40 mahasiswanya di sisi ujung Pantai Lhok Mee. Dibagi dalam dua kelompok, masing-masing 20 orang. Dia memberikan kuasa kepada saya satu grup, untuk saya bimbing soal peliputan tulisan perjalanan.
Hari agak terik sementara di atas langit Kutaraja sana awan hitam menggayut. Saya giring mereka ke bawah pohon tak jauh dari tepi pantai. Pun Ilyas, saya punya rencana khusus dengan dia.
“Secara garis besar ada dua tulisan perjalanan. Artikel wisata dan catatan perjalanan,” saya membuka teori dasar.
Atikel wisata ditulis untuk memperkenalkan (segala jenis) objek wisata untuk disiarkan ke media mainstream, sementara catatan perjalanan dituliskan untuk dibagikan ke publik maupun konsumsi pribadi. Artikel wisata sedikit kaku sedangkan catatan perjalanan (travelogue) lebih bebas.
“Kami artikel wisata, Bang,” pinta mereka, tidak memilih catatan perjalanan.
“How to” dan “focus on”
Menulis artikel wisata pun ada dua model, saya menjelaskan, dengan menatap mereka satu-satu.
Ada yang “how-to”, menuliskan detil satu objek wisata: apa yang ingin dinikmati; pergi dengan siapa; bagusnya naik apa; berapa tarif masuknya; apa saja bisa dilakukan; bagaimana suasananya; kapan bagusnya didatangi; di mana sudut terbaik untuk lakukan sesuatu; dan siapa yang bisa dijumpai.
Satu lagi, “focus-on”, menuliskan fokus (menonjolkan) pada satu hal dari satu objek wisata: satu sisi menarik yang belum pernah diulas penulis sebelumnya; seseorang yang spesial datang ke tempat itu; cara suatu tempat dikelola; tentang sejarah belum terungkap; kondisi masyarakat di sekitar objek; dsb.
Sebaiknya dibaca: Ujung Kelindu Lamreh
“Beruntung kalian, saya bawa turis dari Thailand,” ucap saya, seraya mempersilakan Ilyas berdiri di sisi saya.
“Kalian bisa jadikan dia sebagai seorang turis asing untuk melengkapi cerita perjalanan ke Pantai Lhok Mee atau fokus menulis sosoknya,” mahasiswa menyeringai senyum.
“Tapi jangan tulis Ilyas di Thailand, tulislah Ilyas sebagai orang Thailand yang sedang jalan-jalan ke Pantai Lhok Mee,” saya memastikan.
Mereka terbahak mengalahkan deru ombak. Ilyas pun dengan senang bersedia.
“Oya, kalian harus bicara Bahasa Indonesia pelan-pelan dengan Ilyas supaya dia mengerti, tapi bagi yang bisa: silakan berbahasa Melayu dan Bahasa Thai bila perlu.”
Usai kembali memuntahkan tawa, mereka juga saya tekankan, silakan memotret; boleh gunakan DSLR, kamera poket, maupun smartphone. Karena foto juga perlu mempercantik artikel. Apalagi jika tulisan perjalanan itu jatuh di hadapan pembaca yang hanya melihat fotonya—terutama Instagramer.
(Foto seadanya saja. Kapan-kapan kita sharing travel photography ya bareng ahlinya; hayooo siapa mau???)
Merangsang atau mewakili orang lain
Pula saya terangkan, bagi pemula, kelak dalam menyusun artikel, mulailah dari awal memulai perjalanan hingga menikmati tempat yang dituju, bagi yang menulis panduan perjalanan (how-to). Sementara bagi yang fokus pada satu objek, ceritakan sebanyak-banyaknya informasi tentang objek yang difokuskan.
“Sebab ada dua tujuan utama menulis artikel perjalanan: pertama; untuk merangsang orang lain agar mau datang ke objek yang ditulis, kedua: untuk mewakili orang lain yang tak bisa datang ke suatu objek sehingga rindunya bisa diwakili oleh cerita kita.”
Hampir sepuluh menit saya bicara. Setelah muncul satu-dua pertanyaan, mereka tampak cukup terbakar semangat. Matahari mulai condong ke barat. Pun air sudah surut, menyembulkan akar-akar pohon yang menjulang di sepanjang bibir pantai.
“Sekarang, fokus pada liputan. Jangan pikirkan soal lima we satu ha (5W 1H), karena yang saya jelaskan tadi untuk mendapatkan jawaban itu,” tegas saya, untuk memudahkan mereka fokus dalam mengumpulkan informasi.
“Hidupkan pancaindera kalian. Dengarkan suara apa saja, tandai bau apa di sekitar, angin yang membuat kalian bergidik, benda apa yang dilihat, bagaimana orang yang ditemui, rasakan bagaimana kaki menjejak pasir,” jelas saya, bagi mereka yang ingin menulis dengan gaya sastrawi.
Mereka kemudian berpencar di objek wisata yang sepi pengunjung, sebab hari kerja. Hanya ada penjual makanan yang bisa jadi salah satu narasumber mereka, selain Ilyas. Diberi waktu setengah jam untuk liputan.
Mereka terlihat ceria sekali. Inilah tujuan Jufrizal mengajak mahasiswanya belajar di alam. Ia ingin mahasiswanya ceria mengikuti Mata Kuliah Jurnalistik.
“Kunci menggairahkan mereka untuk menulis adalah ceria,” sebut Master Jurnalistik Nanchang University, Cina, itu di media sosialnya sepulang dari Pantai Lhok Mee.
Alasan itu pula yang bikin saya langsung bergairah kala diajak temani mahassiwanya. Dan kata dia, tugas akhir semester mahasiswanya dibagi dua, satu kelompok diminta menulis profil, satu lagi menulis artikel perjalanan. Saya bangga bisa terlibat di kelompok kedua.
Selain saya, ada dua mahasiswi KPI UIN Ar-Ranir—berpengalaman di publikasi tulisan—yang diajak, untuk menyemangati junior mereka. Dhesy Badrina dan Uwlan Nurrahmi, pengelola samperinaja.com.
Saya pikir, Jufrizal termasuk dalam kategori “Guru Inspiratif” yang sedang keluar dari pola “Guru Kurikulum” di UIN Ar-Raniry. Soal dua kategori pengajar ini, temukan jawabannya di film “Freedom Writers”.
Semoga, makin banyak guru inspiratif lain ke depannya di Aceh. Dan jangan lupa ajak safariku.com ya! Hihi.[]
Writer: Makmur Dimila
Berjalanlah… dan ceritakan pengalamanmu 🙂