Ketika hendak terbang dari Jakarta ke Aceh, di terminal B Bandara Soekarno Hatta, saya membeli majalah DestinAsian edisi Juli-September 2019 untuk menutupi kekecewaan seorang teman yang jauh-jauh hari sudah menitip oleh-oleh khusus.
Saya lupa akan buah tangan itu. Dan barangkali edisi majalah ini yang memuat liputan khusus fotografi—10 proyek fotografi tentang Indonesia, akan sedikit menutupi kesalahan saya.
Saya berutung menemukan toko buku kaki lima di sudut bandara ini. Saya membayangkan wajah kecewa teman saya itu saat akan menjemput saya nanti.
Saya membeli dua, untuk saya satu dan satu lagi untuknya. Tiba di Aceh, saya menyerahkan majalah itu.
Awal-awalnya ia senang tapi ia sering merapal kesalahan saya itu ketika majalah itu selesai dibacanya. Dan saya juga demikian, menyesal telah lalai.
Saat beberapa taman bunga bermunculan di Aceh, saya jadi teringat satu artikel pada majalah itu. Samar-samar di ingatan, saya membaca ulang artikel itu. Vakansi Visual, begitu judulnya.
Artikel itu berisi catatan singkat atas proyek foto Kurniadi Widodo, fotografer dan kurator yang menetap di Yogyakarta.
Foto dan narasinya, mengurai bagaimana hubungan antara fotografi dengan industri pariwisata modern.
Tempat-tempat yang awalnya tidak memiliki ketertarikan apa-apa disulap menjadi sebuah tempat yang fotogenik. Dibantu media sosial, tempat-tempat wisata itu akan ramai dikunjungi wisatawan dalam waktu yang pendek.
Widodo memberi tajuk pada proyeknya itu, Towards New Landscapes, yang digarapnya sambil menyambi.
Ia memotret tempat-tempat wisata di Indonesia yang dulunya dipenuhi semak-semak, kini banyak didatangi pengunjung.
Lebih lanjut, Ia menulis, “dulu, sebuah tempat galibnya marak difoto karena memang fotogenik secara natural. Kini, banyak tempat secara artifisial direkasaya supaya fotogenik, dengan harapan difoto oleh banyak orang.”
Apa yang membuat otak saya merangsang adalah kalimat di halaman 88 (bagian judul artikel); “Relasi konvesional antara fotografi dan pariwisata memasuki babakbaru di Indonesia. Banyak tempat wisata kini diciptakan atau dimodifikasi demi melayani gairah memotret dan tren media sosial. Polanya kian kentara, tapi dampaknya masih tanda tanya.”
Jika Widodo, barangkali, menemukan ide untuk menggarap proyek foto Toward dari hasil perenungannya terhadap fenomena tersebut; lalu, saya terinspirasi untuk menulis cerita ini, setelah membaca tulisannya.
Namun, ini bukanlah sebuah proyek foto, melainkan rasa penasaran, bagaimana pemilik suatu tempat wisata yang fotogenik—seperti yang ditulis Widodo, mengolah tempat itu menjadi menarik. Dari tata letak hingga artistik.
Saya ingin melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Seiring banyak munculnya beberapa taman bunga di Aceh.
Taman Mutiara Bunga
Di ujung telepon dengan nada cepat, pria itu menyuruh saya untuk menunggunya di jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di depan masjid Al-Hikmah Cunda, Lhokseumawe.
Ini janjian kami yang ketiga kalinya, setelah sebelumnya saya telat bangun dan ia tidak menunggu saya.
Hari itu saya beruntung dibangunkan suara palu tukang di atap rumah saya. Menggosok gigi, basuh wajah, dan ganti baju, saya langusung menuju ke sana, hanya beberapa meter dari tempat tinggal saya.
Mobil double kabin coklat muda tiba di hadapan saya. Saya menunggunya lima belas menit bersama matahari yang menyengat bagian kanan wajah saya.
“Eh malam!” katanya.
Ia mengucapkan kata itu ketika saya sedang membuka pintu mobil.
“Makajih, ka eh malam!,” katanya lagi, tapi kali ini sambil tertawa.
Dia segera tancap gas. Melaju kencang. Kami mengejar waktu.
Namanya Rahmad. Hari itu ia berkaos hitam dan menggunakan celana jeans, ada ikatan kecil pada bagian belakang kepalanya dan kulitnya yang sedikit hitam membuatnya terlihat gagah. Umurnya jauh dari saya yang berumur duapuluh tiga tahun.
Saya berkenalan dengannya setahun yang lalu. Ketika mengetahui ia akan membangun wisata taman bunga, saya menghubunginya, meminta ikut. Tempatnya terletak di Gunung Salak, Nisam Antara, Aceh Utara.
Baca juga:
- Bermalam di Nusa dan Setahun Setelahnya
- Tips Membuat Undangan Pernikahan Bertema Traveling
- Tour Tiga Negara ini, Hanya 3 Jutaan lho!
Sejurus kemudian, Rahmad memperkenalkan anaknya, Raju, yang duduk di kursi sebelah pengemudi. Rahmad memelankan pedal gas setelah melewati komplek perumahan PT. Arun, ia membakar rokok.
Di kursi belakang saya menguap sambil menikmati pemandangan dan angin dari luar. Sekali waktu mata saya tertutup tak tertahankan.
“Eh malam! Oohh gam! Eh malam!” Raju tertawa hebat mendengar teriakan dari ayahnya. “Apa ngantuk pagi-pagi!”
Sebelum double kabin itu masuk ke Simpang Rudal—setelah hanya beberapa meter dari Simpang KKA, dan berjalan di atas jalan yang meliku-liku dan udara sejuk perbukitan, kami telah banyak singgah di kediamannya di Paloh, mengambil peralatan tukang dan singgah di beberapa toko bagunan. Membeli kayu, seng, dan atap daun rumbia. Bak belakang mobil double kabin ini sudah penuh.
“Lihat kan, uang berserak di jalan,”
kata Rahmad.
“Sekali jalan, berapa habis uang bang?” tanya saya.
“Tergantung kebutuhan yang kita buat di sana. Misalnya, minggu ini buat pondok, ya beli bahan untuk buat pondok aja dulu. Pelan-pelan kita bangun.”
Kini udara di luar benar-benar sejuk. Saya menurunkan habis kaca mobil. Sedangkan, di dalam mobil hening.
Rahmad membakar rokok ketiganya setelah melewati beberapa tikungan. Kendaraan yang berlalu-lalang di jalan tidak terlalu ramai.
Menurut Rahmad, jalan menuju Gunung Salak ini pasti ramai saat hari libur. Meskipun, di sini hanya ada restoran dengan beberapa spot foto natural atau diolah dengan payung-payung, sebuah tren tempat wisata yang populer saat ini.
Hampir semua tempat wisata visual yang pernah saya kunjungi rata-rata menggunakan payung sebagai penghias di bagian atas, bergelantungan, diikat dari pohon ke pohon.
“Buka maps, arahkan ke Taman Mutiara Bunga!” seru Rahmad pada kami. Ia melanjutkan, “Biar muncul di (page one_red) Google, haha.”
Berdasarkan hasil penelusuran saya di Google, ada tiga Taman Bunga yang muncul di Google Maps; Taman Bunga Celosia Beurawe, Taman Bunga Celocia Garden, dan Taman Bunga Aceh Jaya.
Seingat saya, terdapat taman bunga Celosia Flower Garden di Aceh Singkil dan Taman Wisata Islami Flower Garden Hill BLC di Bireuen.
Mekar Berkilau seperti Si Bungsu
Kami tiba di Kilometer 37 Gunung Salak.
Pagar dari kayu yang panjangnya sedada tubuh orang dewasa, membikin tulisan berwarna merah “Taman Mutiara Bunga” itu terlihat menonjol dari pandangan mata siapapun yang melihatnya.
Mobil ini melewatinya, tidak berhenti di depannya. Saya bertanya, mengapa kita tidak berhenti.
“Hidupkan air dulu, kalau tidak, kita tidak ada air untuk kencing,” jawab Rahmad.
Raju turun dari mobil untuk memeriksa pipa yang memanjang ke pusat taman. Saya mengikutinya dari belakang.
Ketika kami sedang menurunkan barang dari bak belakang mobil, dua lelaki datang dengan Vario. Itu saudara Rahmat yang akan ikut membantunya.
Setelah semua barang diturunkan, kami istirahat sejenak: hanya 5 menit. Sejurus kemudian Raju dan saudaranya pergi membetulkan pipa, ternyata ada yang patah.
Saya memerhatikan sekitar taman ini. Berada di ketinggian 1.800 di atas permukaan laut. Luas taman ini sebesar lapangan basket.
Dari pintu depan, tampak ayunan. Di atasnya ada payung di kedua ujung sisinya. Bunga-bunga celosia sedang ingin tumbuh di belakang ayunan itu. Warnanya kuning, merah, dan merah jambu.
Di sebelah kiri dari jalan setapak yang membelah kedua sekat ini, ada replika besar kupu-kupu dengan warna dominannya kuning dan ada celosia yang masih kecil sekali.
Saya dan Rahmad merapikan batu-bata yang berserakan di bawah rumah dengan estetika segitiga—rumah yang biasa dibangun di Villa atau Resort—yang masih hanya kerangkanya saja.
Jika siap, rumah itu akan berlantai dua dan menggunakan konsep panggung—tampaknya seperti rumah kabin yang populer di luar negeri.
Oh ya. Nama Mutiara diambil dari nama anak bungsu perempuan Rahmad. Alasan klisenya, semoga bunga-bunga itu akan tumbuh dengan mekar berkilau seperti mutiara.
Tapi, benar saja, hujan sering turun di sini. Bunga-bunga itu akan meninggalkan embun di atas gunung yang dingin berkabut ini. Bunga-bunga yang didatangkan Rahmad dari Yogyakarta.
Wisata Berselimut Kabut
“Kenapa Abang bangun tempat wisata di sini?” tanya saya.
“Potensinya besar dan pemandangannya bagus. Targetnya hanya pelintas Bener Meriah-Takengon. Kalau nanti ramai, ya alhamdulillah.”
“Nanti sore liat ya,” lanjutnya, “Kabut menyelimuti tempat ini, dingin sekali. Kayak di Eropa.”
Saya terus membantu Rahmat sembari bertanya banyak hal. Ia mengambil cat kuning untuk mewarnai replika bunga yang terletak di antara bunga-bunga celosia itu. Ia mengecatnya pelan-pelan.
Ia melihat ke arah saya. Saya paham. “Boleh saya mengecatnya, bang?” tanya saya.
Ia mempersilahkannya. Ini lebih menyenangkan daripada mengangkat kayu-kayu, bagi saya.
Tiba-tiba sebuah mobil berdiri di jalan depan taman ini. Saya menolehnya dan bertanya siapa itu pada Rahmad. Pengunjung, mungkin, katanya.
Meskipun tempat ini baru selesai 50 %, ada beberapa pengunjung yang datang berswafoto di sini. Rahmad tidak mengutip biaya, karena tempatnya belum selesai dibangun.
“Asalamualaikum!” teriak lelaki bertubuh bulat dari pintu masuk.
Itu ternyata teman Rahmad yang singgah, mereka hendak menuju Bener Meriah.
Lelaki itu membawa keluarganya. Sementara Rahmad mengobrol dengan lelaki itu, saya terus mengecat replika bunga ini.
Sedikit banyak saya menguping pembicaraan mereka yang berdiri di belakang saya. Yang membuat berhenti mengecat adalah kalimat yang keluar seperti ini: di bawah ini ada air terjun, kan, kata salah seorang dari mereka.
Pembicaraan mereka selanjutnya adalah saling memberi saran membangun spot-spot foto yang baru.
Setelah mereka berlalu, dengan nada serius saya menanyakan tentang air terjun tadi.
“Betul, lewat belakang rumah ini perginya.”
“Turun, yok, Bang?”
“Ooh jauh kali, gak sanggup naek lagi nanti kita.”
Suasana hening setelah percakapan itu. Perlahan-lahan kabut mulai menutupi pohon-pohon besar di bagian barat.
Kabut sudah menutupi separuh jalan menuju tempat ini, ketika kami sedang makan siang. Dingin sekali, seperti kata Rahmad.
Matahari yang telah melewati kepala kami, kadang-kadang muncul. Sejam kemudian kami benar-benar bekerja dalam kabut.
Rahmad menyuruh saya untuk memotong kayu dengan ukuran kecil. Kayu kecil itu akan ditempel pada jendela photobooth yang berbentuk rumah.
Saya bilang, saya ngilu dengan gergaji, apalagi memotong sekecil itu. Rahmad mengejek saya dan memamerkan ketangkasan anaknya yang sedang mengaduk semen. Hahaha, kami semua tertawa.
Hari semakin sore. Gerimis turun. Dan membikin saya harus berdiri di bawah sebuah meja yang berpayung.
Saya hampiri seorang saudara Rahmad yang sedang membuat kopi di dapur, sebelah kiri pintu masuk. Kami berbicara seputar tempat ini.
Darinya, saya tau bahwa tempat ini sudah dibangun dari akhir 2019. Sembari menunggu bunga tumbuh, spot-spot foto terus disiapkan.
Kabut Jumat 24 Januari 2020 semakin tebal. Jarak pandang saya hanya dua meter.
Ketika langit sedikit gelap, kami bergegas merapikan tempat ini, mendorong mobil yang kehabisan baterai dan pulang.[]
One thought on “Magis Celosia dalam Kabut Gunung Salak”