MAAF. Maksud saya ke Kuwait sebuah dusun di Aceh Besar, bukan di Timur Tengah.” Hehe.
Ceritanya begini. Kemarin, Senin sore, menjelang jam 6, saya dan Ikbal Fanika numpang mobil (hampir-hampir menyerupai hitch hiking) ke sebuah desa di pedalaman Aceh Besar. Iseng-iseng saja sih. Ya, kami ingin merasakan nikmatnya melihat-lihat Kota Banda Aceh dan Aceh Besar dari bak mobil terbuka.
Kami berangkat dari Lamgugob, Syiah Kuala, Banda Aceh. Mobil pikap yang kami tumpangi melaju ke arah Lambaro melalui jalan raya Pango, Ulee Kareng. Pepohonan rindang saat melewati batas ibukota provinsi Aceh menjadi bingkai foto yang menarik.
Jembatan Pango nan indah.
Tak mau ketinggalan momen. FOTO: Ikbal Fanika
Efek shake iPad mini secara manual.
Di sisi lain, cara kami numpang mobil menarik perhatian para pengguna jalan. Sumpah! Beneran!Kami dipandang dengan raut aneh, heran, dan senyum-senyum kecil. Ada juga yang ngarep difoto seperti seorang pengendara di Pasar Lambaro. Sayangnya, gaya Bapak itu kalah sama pemuda yang mendampingi sopir “pabrik berjalan”. Lihatlah gambar berikut.
Pabrik masuk kota. 😀
“Kami gaul kan?” 😀
Terus, dari Bundaran Lambaro, pikap belok kanan, arah Lampeuneureut. Eh, rupanya memasuki satu jalan desa, menuju Gampong Kayee Lee, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Tiba-tiba, kami kembali melihat Pabrik Berjalan. 😀
“Gak mau liat kamera, kami belum bisa masuk kota kayak mereka :(“
Pengen mandi cahaya rasanya. 😀
“Coba kalo ada petani lagi ngecangkul di sawah..” Ups! :p
“Ciluk, bhaaa!” Matahari bersembunyi 😀
Sunset di barat kami memancarkan sinarnya; juga pengen difoto. Setelah beberapa menit, kami membelah jalan Dusun Kuwait, memasuki Gerbang Komplek Perumahan Kuwait. Kompleks bantuan seorang Syeikh asal Kuwait yang dibangun pascatsunami 2004. Kami tidak hendak menemui Syeh, tapi…
“Kita ke rumah pembuat rapai,” kata Bang Salman Varisi, bosnya Aceh Multivision, begitu turun tepat di halaman rumah Fajar Siddik.
Hahaha. Rupa-rupanya, kami diajak ke rumah seniman yang baru saja mendapat Anugerah Seni di Piasan Seni Banda Aceh 2014 kategori Pelestarian dan Pengrajin Alat Musik Tradisi. Namanya, ya, Fajar Siddik. Dia sedang melatih rapai kepada dua putranya, ketika kami masuk ke rumahnya yang sederhana.
Masjid di Kompleks Perumahan Kuwait.
Fajar menurunkan ilmu seni kepada anak-anaknya. Bapak teladan. 😀
Mesin produksi di belakang rumah Fajar.
Dia memproduksi alat-alat musik, di antaranya gendang rapai, serune kale (seruling), jimbe, tambo (beduk). Jika Anda butuh oleh-oleh berupa alat musik khas Aceh, pesan saja sama dia (bukan iklan beh, tapi bantu promosi :D). Ayo bersafari ke Aceh. 🙂 [] Writer : Makmur Dimila
Badan Argo Parahyangan perlahan berhenti mengular di Stasiun Gambir. Pukul 10 pagi. Saya baru saja mengakhiri perjalanan kereta api dari Bandung menuju Jakarta. Trip...
PROLOG: Melihat Malaysia dengan rupa yang teduh, saya melancong ke Cameron Highlands. Berselancar di atas permadani beraroma daun teh warisan kolonial dan imigran.
1/ Dataran...
Daging ubi ini berwarna kuning. Tetesan gula kecoklatan meleleh dan berkilau layaknya madu. Asap tipis mengepul ke udara. Aroma bakaran ubi bercampur madu pun...
BOOKING.com mengumumkan pembukaan aplikasi program Booking Booster 2020 untuk mendukung solusi travel berkelanjutan di penjuru dunia.
Perusahaan travel digital ini menyediakan dana hibah sebesar Rp38.5...
Cerita ini hanyalah sebuah pengalaman, bukan pengaduan.
Saya bersama tujuh penumpang, pilot dan co-pilot asing, lepas landas dari Bandara Lasikin, Simeulue, pada siang tadi yang...
Kabupaten Pidie hampir langka dari topik obrolan travelling. Sebenarnya, daerah ini kaya akan keindahan alam yang tersembunyi di gunung, lembah, hingga goa. Objek ini...
Hari ketiga Famtrip Rentak Selangor, saya dibawa ke Pulau Carey di Distrik Kuala Langat, Selangor. Melihat kehidupan orang asli tertua, Mah Meri.
Saya rancak sekali....
Saya menempuh perjalanan santai dari pusat ke pinggir Kota Banda Aceh. Lima belas menit berkendara dalam sela-sela sinar matahari pagi yang merekah. Masyarakat ibu...
“Mendaki itu memang susah, tapi pemandangan di ataslah pemandangan paling indah.”
Mungkin itulah pepatah paling pantas disematkan untuk perjalanan kami menuju wisata terbaru di Kabupaten...
Badan Argo Parahyangan perlahan berhenti mengular di Stasiun Gambir. Pukul 10 pagi. Saya baru saja mengakhiri perjalanan kereta api dari Bandung menuju Jakarta. Trip...